Archive for November 2018

ADHD was detected


posted by aridhona

6 comments

Assalammu’alaikum wr wb..

Halo temen-temen apa kabar? kayanya  udah lama banget saya ga coret-coret di blog hehe,, semoga semuanya senantiasa sehat ya ❤️. Kali ini saya ga berbagi resep masakan dulu ya, maunya tentang anak saya tercinta aja, si “spesial” kado dari Allah. Kalo ada yang tanya ngapain sih beginian aja pake di share? Jawabannya ya cuma satu, saya mau ibu-ibu atau bapak-bapak diluar sana aware and care sama anaknya dah gitu aja ❤️. 

Kalau ditarik kebelakang, di usia awal sebenernya jika saya aware untuk memeriksakan kondisi mika mungkin lebih enak dan lebih dini dia bisa di tangani ( tapi yang lalu biarlah berlalu ye kaaan, kalo disesali mulu ga akan move on gais πŸ˜…). Saat  mpasi, anak ini termasuk picky eater juga intoleransi terhadap dairy product, seafood, telur dan sebenernya dari sini aja mika seharusnya dapat penanganan tapi lagi-lagi sebagai newbie mom saya terlalu santai “ahh gapapa, semua baik-baik saja saya juga dulu pilih-pilih makan mungkin keturunan (kesian ye keturunan jadi kambing hitam haha)”, ga ada tuh keinginan untuk memeriksakan mika lebih lanjut, cuma modal sedikit membaca dari google doang dan sibuk mencari pembelaan anakku baik-baik aja bukannya bertanya ke yang ahli. Kalau ada yang tanya kenapa picky eater harus ditangani? Kalau menurut psikolog yang menangani mika, anak jadi terhambat khususnya sensoriknya karena dia tidak berkesempatan untuk merasakan berbagai macam sensasi dari tekstur makanannya, padahal ini penting untuk menstimulasi sensoriknya sedangkan masalah ini saya abaikan. Kalo dipikir waduh gitu aja bisa ngaruh ya? Kog gw ga tau? Padahal background gw juga psikologi tapi nguap aja itu ilmu kayak uap nasi, abis buat anak sendiri aja ga ada ilmu psikologi yang dipraktekin 😌 πŸ˜…. Lanjuut, tanda yang Allah kasih lagi tapi lagi-lagi saya  denial yaitu mika speech delay bahasa kerennya belon bisa ngomong padahal usianya hampir 2 tahun, yang nongol cuma bahasa tangannya juga kata-kata yang emaknya aja ga ngerti apa artinya. Akhirnya usia dia 2 tahun suaranya keluar “anti” ya anti yang artinya tante panggilan untuk adikku yang cewek bukan “umi” atau “abi” (Waktu itu karena bapake udah berangkat duluan ke jepang, kami balek kampung ke rumah ortu saya dan mertua). Disana emaknya sibuk me time, emaknya sibuk jalan ama temen-temennya tapi bocah ga keurus (maaf ya nak 😒). 

2 tahun 1 bulan akhirnya kami ikut nemenin bapaknya ke jepang, didengerin youtube dan emaknya mulai ngajarin nyanyi bahasa indonesia alhamdulillah keluaaar langsung banyak kata-katanya, ya cukup banyak untuk anak seusianya yang cukup terlambat (ini membuat emaknya songong saat itu “tu kan dah bisa ngomong”). Usia dy 2 tahun 3 bulan saya memutuskan untuk part time, saat itu alasannya ada 2 yaitu biar mika pengalaman sekolah dengan cara daycare karena TK baru bisa usia 4 tahun disana (riya’ ini mah sebenernya 😒) sama tergiur kerja karena gajinya lumayan biar bisa nabung dan jalan-jalan daripada bengong dirumah (salah besar😒). Kebetulan untuk masuk daycare negeri syaratnya memang kedua orang tua tidak ada dirumah alias dua duanya kerja atau salah satu sekolah satunya kerja. Kenapa negeri? ya karena biayanya yang murah kira-kira 5000¥ saja dibandingkan swasta yang mencapai 40.000¥ per bulannya walaupun mika tetep aja harus masuk swasta dulu (kurang lebih 7bulan) karena untuk negeri harus antri πŸ˜…. Diawal dia sekolah ga ada hal janggal, sama seperti anak-anak lain yang nangis kalo udah nyampe day care dan mau ditinggal emaknya, senseinya bilang “tenang aja mama tinggalin aja nanti nangisnya berhenti!” Padahal emaknya liat anaknya nangis langsung nyes πŸ˜…. Saat itu berharap ntar lagi masalah bahasa ga akan jadi masalah karena mika pasti bisa serap seperti anak lain, dan bangga tuh pas tau dia dikit-dikit bisa bahasa jepang (padahal dah tau bahasa ibu aje die belom lancar😌) dan dia bakal punya banyak teman (padahal tidak ada satupun nama anak yang dy ingat karena tidak ada interaksi yang intens antara dia dan temannya, ya mika asik main sendiri).  Mika berangkat jam 8 dan saya jemput paling cepat 16.30 karena saya kerja dari jam 9.00-16.00 dan tempat kerja saya lumayan jauh karena ditempuh dengan sepeda. Hari demi hari berganti, capek kerja buat saya kasih dia gadget sepulang sekolah karena saya harus masak dan membersihkan rumah sepulang kerja, jika harus menemani mika ga akan selesai semua kerjaan karena suami sedang menempuh S3 yang pasti super sibuk dan pulang sudah malam bahkan kadang jam 3 pagi pikir saya. Terlena dengan tenangnya mika, rumah tidak sering berantakan, mika fasih berbahasa inggris (native), dari sekolah dia bisa teratur dan tau dimana meletakkan sesuatu, mandiri  dan yang penting saat saya ketemu teman mika anteng dengan gadgetnya sementara saya bisa ngobrol saat itu rasanya surgaaaa, ya surga buat orang yang tidak sadar-sadar juga seperti saya. Sikap mika yang suka main sendiri saya abaikan, hanya merasa dia sama seperti bapaknya ketika kecil yang suka main sendiri dan kekurangan lain seperti tidak terlalu suka menatap mata ketika berbicara masih saya maklumi, ntar bisa sendiri fikir saya ( lagi-lagi penolakan). 

Ketika usia mika 3 tahun dan saya sudah berhenti partime karena saya hamil anak kedua, ia mendapatkan giliran untuk medical checked up fisik dan tumbuh kembangnya, saat itu saya salah jadwal karena memang di undangannya tanggal dan hari tulisannya salah, salah saya juga ga kroscheck jadi saat itu ternyata jadwalnya nihonjin (orang-orang jepang) bukan warga asing, pastilah disana tidak ada satupun orang yang fasih berbahasa inggris ( bahasa jepang saya kacau 🀣) akhirnya saya memutuskan menelpon teman untuk jadi translator nya, selameeet haha makasih ya teh. Tiba giliran mika, untuk fisik tidak ada masalah hanya giginya tapi ketika masuk ke pengecekan tumbuh kembang, psikolog disana merasakan ada yang janggal karena mika tidak langsung menoleh ketika dipanggil perlu beberapa kali panggilan dan tidak bertatapan ketika berbicara. Saat itu juga kami tidak melanjutkan pemeriksaan karena langsung disuruh pindah ke meja “darurat” kayaknya, saat itu langsung bingung tapi ketika berbicara saya langsung membela diri “mungkin karena mika belum fasih bahasa jepang dan memang karena ketemu orang baru jadi dia tidak tertarik untuk merespon, harus dia kenal banget baru dy mau karena dirumah ketika saya panggil dia menoleh kog, walaupun ketika berbicara ya ga banyak menatap lawan sihh” ungkap saya. Dua kali saya dipanggil ke kecamatan (city office) untuk membicarakan tentang mika dan lagi-lagi saya meyakinkan dia tidak apa-apa, mika terbiasa main sendiri karena jarang keluar rumah seusai day care agar ia istirahat, tapi karena kondisi saya sudah tidak bekerja karena hamil sepertinya mika juga akan dirumah saja karena artinya masa mika di daycare selesai karena saya berhenti bekerja, ungkap saya kepada mereka. Mereka panik saat itu, ya karena menurut mereka mika masih harus mengasah kemampuan sosialisasinya yang masih sangat kurang diusianya saat itu ditambah lagi setelah saya beritahu anak-anak seusianya di apato saya pun semuanya di daycare dan baru dirumah sore hari ketika ibu bapaknya menjemput usai pulang kuliah (kebetulan tetangga kami orang indonesia semua yang juga melanjutkan kuliah, alhamdulillah) itu artinya tidak ada wadah bagi mika untuk belajar sosialisasi. Jika ada teman-temannya paling ga sampai 5 menit dia gabung setelah itu memisahkan diri dengan asik main sendiri lagi. Entah bagaimana kabar baik datang karena akhirnya mika tetap diizinkan di daycare hingga adiknya lahir dan berusia 8minggu. Hitungan saat itu kira-kira bulan oktober adiknya berusia 8 minggu, sehingga hanya berada dirumah 5 bulan kedepan sambil menunggu tahun ajaran baru untuk TK dan itu waktu yang tidak terlalu lama untuk mika bisa bersosialisasi lagi lewat sekolah nantinya. Tau ga, saat itu rutinitas dirumah selama 5 bulan mika dirumah masih sama seperti saat saya kerja karena saya terlalu terlena, saya sibuk dengan diri sendiri (berjualan, me time, hamil) dan mika masih dengan gadgetnya, hanya beberapa kali kami menganggap dia tidak perlu gadget tapi kemudian kembali lagi dy kami hadiahi gadget, sungguh kami malu jika ingat saat itu. Pihak city office masih sering menghubungi kami lewat teman kami yang pandai berbahasa jepang, tapi saya menyuruhnya untuk berkata mika baik-baik saja (SALAH BESAR) alasannya karena percuma orang saya ga bisa bahasa jepang fasih ntar salah diagnosa gimana lagian mika kayaknya baik-baik saja nanti aja kalau pulang ke indonesia ceknya, padahal kalo saya mau ngobrol lebih lanjut dengan mereka mungkin mereka akan mengatakan “cek yuk kog tandanya kayak ADHD?”. Tapi saat itu sempat terpikir oleh saya kayaknya tu psikolog mau bilang mika autis deh soalnya ditanyain mulu padahal kan dy ngerti tapi ga bisa jawab pas ditanya ama mereka kan karena baru dikenal mika makanya tu anak merespon tapi tanpa menatap. Bodoh kan? Ya bodoh banget, kalo lagi merenung selalu mikir andai bisa diulang 😌 tapi mana bisa ye kaaan.

Saat mulai tahun ajaran baru TK, mika yang selama 5 bulan terbiasa dirumah dan bisa bermain dengan gadgetnya pasti dia menolak dengan hebat yang namanya sekolah. Ya terbukti selama 1 bulan ia menangis dan tantrum di bus, bulan depannya hanya menangis di bus dan dikelas sudah lumayan bisa happy, dan setiap usai liburan sekolah ia akan mulai tantrum lagi. Di TK nya anak-anak bisa di antar jemput menggunakan bus sekolah karena jarak yang cukup jauh jika harus kami antar dengan sepeda. Selama kurang lebih 4/5 bulan di TK itu jarang sekali saya lihat dia enjoy bersekolah, padahal disekolah ia didampingi shadow sensei yang fasih berbahasa inggris, tapi saya tau bahasanya mika kacau terkadang dia masih tidak mengerti maksud percakapan ( disini aja seharusnya sadar kog anak saya dpt shadow sensei eh saat itu malah bangga merasa mika diistimewakan πŸ˜…, biasanya kan dikasih shadow berarti ada sesuatu). Agustus 2017 mika resmi berhenti sekolah karena kami persiapan akan pulang kembali ke indonesia karena bapaknya telah selesai menempuh sekolahnya. Jadi saat itu kami menyimpulkan mika bingung bahasa saja, ya bingung karena ketika bahasa ibunya (bahasa indonesia) belum kokoh, dia sudah di hantam oleh 2 bahasa lain yaitu jepang dan inggris, sedangkan selama perjalanannya di jepang selama 3 tahun itu bahasa yang sangat dia kuasai malah bahasa inggris, bukan bahasa jepang seperti perkiraan awal kami sebelum berangkat ke jepang. Kebayangkan korsletnya gimana? Ga distimulasi motoriknya paling dapat sedikit dari sekolah atau ketika kami jalan-jalan ke taman atau liburan kepantai atau hiking, hari-hari ditemani gadget bikin matanya terlalu di forsir dan menurut penelitian visual yang terlalu diporsir bisa membuat anak hiperaktif, ah sudah kami resmi mengabaikan anak kami 😭. Oh ya hiperaktif belum tentu ADHD ya tapi ADHD pasti hiperaktif.

Setelah pulang di indonesia dia masih bersikap sama, setiap vc selalu tidak mau menatap dan ditempat yang berpasir dan kotor ia bisa berteriak tapi sekolahnya sementara tidak kami lanjutkan, menunggu tahun ajaran baru saja pikir kami. Kami masih menunggu dan menganggap dia masih bingung bahasa. Menjelang pendaftaran tahun ajaran baru kami memutuskan untuk survey beberapa sekolah TK untuk mika sekolah, ada yang menolak secara halus yakni saya harus menyediakan pendamping untuk mika. Di sekolah yang satunya ketika observasi harus memakan waktu 2 x baru mereka bisa memutuskan terima atau ga, tapi sebelum keputusan keluar akhirnya saya memutuskan mencari informasi  dari teman-teman saya, psikolog mana yang rekomen untuk saya datangi guna memeriksakan mika agar lebih jelas apa yang terjadi kepada mika untuk menyiapkan dia menghadapi dunia sekolah. Saat itu saya ingat bulan maret mika mulai di observasi oleh terapis sementara saya di anamnesa oleh psikolognya. Diikuti dengan rentetan assesment lain seperti tes IQ. Setelah hasilnya keluar saya kembali berdiskusi dengan psikolog mengenai apa yang mungkin terjadi pada mika dan langkah apa yang harus diambil. Betapa terkejutnya saya ketika psikolog mengatakan hasil tes IQ mika hanya di skore 64 haha buruk sekali, tapi ibunya bilang ini tidak bisa jadi patokan karena kondisi saat anak menjalani tes IQ sangat berpengaruh, ya memang mika tidak mood dan sedang sakit saat itu terlebih lagi dia marah karena saat tes menggunakan bahasa indonesia. Saat itu belum ada hasil pasti yang keluar hanya merekomendasikan mika untuk terapi behaviour (perilaku) selama 2 bulan karena sensorik motoriknya tidak optimal dan memutuskan agar mika kembali diajarkan bahasa ibunya bukan ibu youtube jadi sekolah kedua kami mengundurkan diri karena sekolah tersebut billingual dan psikolog menyarankan mika untuk tidak sekolah terlebih dahulu. Selama terapi tentunya mika tetap di observasi, setelah selesai sesi I terapi hasil diskusi masih menyatakan ketidak optimalan sensorik motorik mika membuatnya cukup bermasalah dengan vestibularnya, hyper sensitif di area telinga dan matanya, emosinya dan sebagainya. Saat itu kami sebagai orang tua hanya merasa tertembak sedikit, ya sedikit banget terbukti dari ketidakoptimalan kami dalam menstimulasi mika dari rumah, terkadang hanya mengandalkan “halah mika kan udah di terapi” padahal terapi dari rumah itu paling penting karena kami 24 jam bersamanya sedangkan terapi hanya memakan waktu 1 jam. Sesi I terlewatkan begitu saja, semangat di awal menstimulasi mika kemudian kendor lagi dan lagi karena merasa sudah mulai ada progress dari mika bikin kami santai mengandalkan terapi. Setelah selesai evaluasi mika lanjut terapi sesi II masih dengan terapi prilaku. Hasil observasi dari sesi II menyatakan mika gangguan emosi bukan mild autism seperti yang saya sangkakan, ada reda didalam dada dan ternyata hal ini bikin kami terlena lagi. Untuk terapi sesi III psikolog menyarankan mika tidak hanya di treatment dengan terapi prilaku saja melainkan terapi okupasi juga untuk fokus pada sensorik motoriknya yang belum optimal walaupun sekarang kemajuan mika sudah banyaaak sekali. Tapi tetap “semangat” untuk menstimulasi mika dari rumah masih “anget-anget tai ayam” kalo kata orang kampungku, kalo semangat ya semangat banget kalo malas ya udah malas banget 😒. Tiba saatnya evaluasi dari hasil terapi sesi III itu lah titik balik kami. Psikolog menyarankan mika harus dibantu dengan medikasi untuk mengurangi hiperaktifitasnya sehingga terapi psikologi bisa maksimal karena selama 6 bulan terapi, keaktifan mika belum berkurang dan mika dinyatakan ADHD (attention defisit hyperactivity disorder) dan dia akan melakukan tes IQ ulang karena kami bercerita mika sudah bisa baca secara billingual. Saat itu rasanya sedih bukan kepalang, tapi disisi lain bersyukur ia tidak autis seperti yang saya sangkakan. yang membuat sedih ketika mika disarankan menggunakan medikasi karena pendek pengetahuan kami dari google "medikasi" yang di maksud pastilah berhubungan dengan namanya obat penenang, lebih takut lagi jika harus ketergantungan seumur hidup. Saat itu psikolog menyerahkan keputusan ini kepada kami dan menyarankan kami untuk konsul terlebih dahulu dengan psikiater, agar dapat bertanya panjang lebar agar benar-benar yakin keputusan yang harus diambil apa hingga tidak ada ganjalan di hati. Pulang dari evaluasi kami kokoh sepertinya nanti jumat saat konsul minta alternatif lain saja tidak perlu medikasi. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, saat masuk kedalam ruang praktek psikiater saya bertemu beliau tapi saya tidak banyak bicara karena sibuk dengan mika dan uqa yang heboh seperti biasa. Saat itu beliau menjawab semua pertanyaan kami dengan baik, menenangkan kami bahwa obat ini tidak seseram yang kami baca di google dan tidak berlaku untuk seumur hidup apalagi  membuat ketergantungan karena suatu waktu bisa berhenti jika sudah dianggap tidak perlu. Kami habiskan waktu 1 jam untuk berkonsultasi dan beliau dengan baik menanggapi, saya pun bertanya apakah mika perlu assesment secara medis seperti tes laboratorium atau MRI untuk mengetahui dosis yang dibutuhkan atau mem fix kan jika mika benar-benar ADHD dan beliau dengan lembut berkata tidak perlu bu, begini saja saya sudah bisa lihat karena pasien saya banyak seperti ini dan didukung juga dengan laporan dari psikolog mengenai hasil observasi mika selama 6 bulan ini. Beliau juga mengatakan ADHD belum tau pasti apa penyebabnya tapi kebanyakan karena ketidak seimbangan senyawa kimia di otak dan faktor lainnya, pemberian gadget dan pola asuh hanya sebagai penguat. Oke fix mika benar-benar dapat gelar anak "spesial" hadiah dari Tuhan untuk pengingat kami agar tidak lalai karena anak adalah amanah yang harus dijaga benar-benar bukan setengah-setengah bahkan diabaikan.

Dari mika kami belajar banyak hal, betapa banyak kewajiban yang tidak kami jalankan seutuhnya dan betapa kami lalai dalam mendidiknya. Tapi penyesalan memang datang belakangan bukan? kalo didepan namanya pendaftaran ya kan?. Sekarang tugas kami hanya memberikan HAK-nya, salah satunya mendampinginya, mensupportnya dan membuatnya bangga dengan gelar ADHD nya. Membangun support system dari keluarga inti dan besar dahulu baru lingkungan agar ia menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri serta dicintai. Kami sungguh bersyukur, Allah masih menegur kami ketika kami lalai melalui mika yang artinya Ia masih mengizinkan kami berubah menjadi orang tua yang lebih baik. Teman-teman dari sini saya hanya ingin mengingatkan apa essensi dari anak yang Allah titipkan kepada kita? ya, mereka dititipkan untuk dijaga dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya oleh orang tuanya. Mereka sebagai hadiah sekaligus sebagai ujian bagi kita orang tuanya. Menikah, hamil dan melahirkan bukan hanya perkara "oke gw udah jadi wanita/laki-laki seutuhnya, ah unyu yaaa, aduuuh bahagia banget" tapi itu adalah awal ada tanggung jawab baru bagi kita. Jadi orang tua itu ga ada sekolahnya, tapi seharusnya perlu banget untuk kita belajar dan terus belajar agar anak-anak bisa tumbuh dengan baik, jangan mengabaikan sekecil apapun hal aneh yang muncul dari perilaku anak kita seperti yang saya lakukan. Kalau anak picky eater ya dikonsulkan mungkin ada masalah pada saraf mulutnya, speech delay ya diperiksakan jangan nyari pembelaan seperti aah neneknya juga dulu ngomongnya telat, anak tidak menatap mata ketika diajak berbicara, fokusnya pendek, gampang terdistraksi dan didukung hiperaktif yok buruan di cek ke yang ahli, toh kalo ga ada apa-apa ya alhamdulillah kalo ada apa-apa ya bagus lebih dini deteksinya jangan pakai ilmu google doang buat cari pembelaan.  Belajar AWARE terhadap segala sesuatu yang terjadi, dan tugas ini berlaku seumur hidup kita sebagi orang tua. Bangun bonding yang kuat dengan anak, jika merasa emosi kalian tidak sehat mungkin butuh pertolongan karena kesehatan mental orang tua khususnya ibu sangat berpengaruh kepada pengasuhan dan menentukan baik tidaknya mental anak. Oh ya ini hari kedua mika minum obat dan sesungguhnya kami sendiri masih merasa aneh dengan tingkahnya yang lebih tenang dari biasanya, selalu tidur siang padahal dulu secapek apapun matanya terus melek seolah tubuhnya tidak punya alarm capek, masih moody tapi lebih bisa di kontrol tidak terlalu meledak seperti biasanya, duduk tenang didalam mobil, berkurang aktifitas manjat memanjat. Mohon doanya agar keadaan ini dapat berlalu dengan lancar dan makin banyak progress yang dapat mika capai dari rumah, terapi psikologi dan obatnya sehingga penggunaan obat juga segera berakhir lebih cepat nantinya, AMIIIIN. Doakan kami konsisten dalam berjuang mendidik mika dan uqa anak-anak kami ya, semoga kami bisa mengerahkan semua yang bisa kami berikan kepada mereka secara maksimal. Dunia belum berakhir, justru hal baru akan dimulai. Cuma ADHD kog!!!! Yosh Ganbattee

TAMBAHAN:
*Oh ya ada beberapa part yang kurang detail tapi disini aja ya nulisnya. Selama di jepang mika jarang (tapi pernah ya) menunjukkan tantrum berlebihan mungkin hanya di sekolah saja (jadi saya tidak ambil pusing karena mikir namanya juga anak-anak ada masanya tantrum), ini bisa dikarenakan dia cuma takutnya ama saya jadi saat keluar dari lingkungan rumah kesempatan tuh berani ngeluapin marahnya dia ke orang lain dan saat itu tantrumnya masih bisa terhandle dengan berkuasanya saya dan bantuan gadget pastinya. Sedangkan setelah mulai terapi dan pelan-pelan mengurangi gadget mulai terlihat emosi yang tak bisa mika kontrol dan ungkapkan, tantrum mika, aktifnya dia yang saat itu saya apresiasi karena berfikir oh ya ototnya sekarang semakin kuat setelah terapi padahal seharusnya aktifnya itu ada batasnya. Saya juga sebagai ibu tidak pernah mengajarkan mika mengenal berbagai macam emosi, setiap dy terlihat akan marah selalu saya block,, saya duluan yang marah pokoknya! Tidak pernah saya ajarkan ia untuk belajar mengungkapkan dan mengontrol emosinya, “pokoknya kamu harus nurut maunya saya” pikir saya saat itu ( ini karena saya pun bermasalah dengan management emosi saya, inner child yg belum tuntas, jadi bagi ibu-ibu belajarlah menuntaskan inner child kalian karena ibu yang bahagia menentukan kebahagian keluarga). Mika jika melihat orang lain mau dia kenal atau tidak sedang menangis, ia akan ikut menangis dan marah-marah, ketika ditanya pun dia tidak bisa mengungkapkan apa alasannya setelah dijelaskan oleh terapis kemungkinan suara tangisan itu membuat ia tidak nyaman mendengarnya karena area telinga mika hypersensitif dan memang ia belum bisa mengontrol bahkan mengenali emosinya, mika hanya tau emosi marah dan senang sedangkan yang lain ia block tapi sekarang alhamdulillah ia jauh lebih bisa diajak berkomunikasi dan belajar mengenali emosinya. Anak yang bermasalah sensoriknya memang mengakibatkan terganggunya emosi, untuk kasus mika selain emosi ia juga bermasalah dengan vestibular, jarang sekali saya melihatnya berjalan santai karena ia selalu saja berlari namun seperti kapal oleng (temen-temen yang pernah ketemu mika pasti paham), baru usia 4 ia bisa melompat seperti kodok dan usia 5,5 tahun ia baru bisa melompat jauh dari atas lemari kekasur itupun artinya setelah terapi, sampai sekarang belum fasih melempar dan menangkap bola, masih gemetar ketika menulis bahkan untuk three point aja dia belum sempurna, masih banyak sekali PR kami tapi yang namanya PR harus dikerjakan, betul tidak??.

*setelah membaca blog saya, salah seorang teman bercerita jika salah satu sister nihonjin yang pernah berkunjung kerumah saya ketika melihat mika dia pun merasa ada yang janggal dengan mika seperti anak ADHD pada umumnya karena beliau seorang suster di salah satu RS tapi beliau meminta kepada teman saya untuk tidak dibicarakan kepada saya, karena takut melukai hati saya ❤️ karena ia baru pertama kali bertemu mika kog udah judge. Jadi jika mika bertemu orang-orang yang paham dengan dunia medis pastilah orang-orang bisa melihat ada yang janggal, tapi tidak berlaku dengan orang-orang awam seperti saya yang menganggap ahh namanya juga anak-anak. Intinya apa? Aware yaa, periksakan periksakan dan periksakan karena lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Berhentilah menolak jika orang lain merasa “kayaknya anakmu perlu diperiksain deh” itu tandanya mereka peduli sama kamu bukan bermaksud memerintah apalagi menggurui. 

salam cinta dari kami
wassalammu'alaikum